Sabtu, 08 Desember 2012

BAHASA YG KU CINTAI

KEUNIKAN BAHASA INDONESIA DENGAN BAHASA LAIN


Indonesian (Bahasa Indonesia) is the official language of Indonesia. Indonesian is a normative form of the Riau Islands dialect of Malay, an Austronesian language which has been used as a lingua franca in the Indonesian archipelago for centuries.
Indonesia is the fourth most populous nation in the world. Of its large population the number of people who fluently speak Indonesian is fast approaching 100%, thus making Indonesian one of the most widely spoken languages in the world.[2]
Most Indonesians, aside from speaking the national language, are often fluent in another regional language (examples include Javanese, Minangkabau and Sundanese) which are commonly used at home and within the local community. Most formal education, as well as nearly all national media and other forms of communication, are conducted in Indonesian. In East Timor, which was an Indonesian province from 1975 to 1999, Indonesian is recognised by the constitution as one of the two working languages (the other is English, alongside the official languages of Tetum and Portuguese).
The Indonesian name for the language is Bahasa Indonesia (literally “the language of Indonesia”). This term can sometimes still be found in written or spoken English. In addition, the language is sometimes referred to as “Bahasa” by English speakers, though this simply means “language” and thus does not technically specify the Indonesian language.
HISTORY
Indonesian is a normative form of the Riau dialect of the Malay language, an Austronesian (and Malayo-Polynesian) language originally spoken in Northeast Sumatra[3] which has been used as a lingua franca in the Indonesian archipelago for half a millennium. It was elevated to the status of official language with the Indonesian declaration of independence in 1945, drawing inspiration from the Sumpah Pemuda (Youth’s Oath) event in 1928.[4] Indonesian (in its most standard form) is largely mutually intelligible with the official Malaysian form of Malay. However, it does differ from Malaysian in several aspects, with differences in pronunciation and vocabulary. These differences are mainly due to the Dutch and Javanese influences on Indonesian. Indonesian was also influenced by the “bazaar Malay” that was the lingua franca of the archipelago in colonial times, and thus indirectly by the other spoken languages of the islands: Malaysian Malay claims to be closer to the literary Malay of earlier centuries.
Whilst Indonesian is spoken as a mother tongue by only a small proportion of Indonesia’s large population (i.e. mainly those who reside within the vicinity of Jakarta), over 200 million people regularly make use of the national language – some with varying degrees of proficiency. In a nation which boasts more than 300 native languages and a vast array of ethnic groups, it plays an important unifying and cross-archipelagic role for the country. Use of the national language is abundant in the media, government bodies, schools, universities, workplaces, amongst members of the Indonesian upper-class or nobility and also in many other formal situations.
Standard and formal Indonesian is used in books and newspapers and on television/radio news broadcasts; however, few native Indonesian speakers use the formal language in their daily conversations. While this is a phenomenon common to most languages in the world (for example, spoken English does not always correspond to written standards), the degree of “correctness” of spoken Indonesian (in terms of grammar and vocabulary) by comparison to its written form is noticeably low.[citation needed] This is mostly due to[citation needed] Indonesians combining aspects of their own local languages (e.g., Javanese, Sundanese, Balinese, and Chinese dialects) with Indonesian. This results in various ‘regional’ Indonesian dialects, the very types that a foreigner is most likely to hear upon arriving in any Indonesian city or town. This phenomenon is amplified by the use of Indonesian slang, particularly in the cities.

Selasa, 04 Desember 2012

BAHRUL ULUM

PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah utara kota Jombang. PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, secara keseluruhan menempati areal tanah ± 10 Ha, dengan sosiokultur religious agraris.
SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM
          • PERIODE RINTISAN PERTAMA
(PONDOK SELAWE / PONDOK TELU  1825 M)
Sekitar tahun 1825 di sebuah Desa yang jauh dengan keramaian kota Jombang, tepatnya di sebelah utara kota Jombang, di Dusun Gedang kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama ABDUS SALAM namun lebih dikenal dengan panggilan MBAH SHOICHAH (bentakan yang membuat orang gemetar) Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit) dan merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro.
Abdus Salam adalah putra Abdul Jabbar (Mbah Jabbar ) putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Abdurrohman (Jaka Tingkir). Selengkapnya Baca Silsilah Kyai Abdussalam halaman 44.
Sebelum kedatangan Abdus Salam,  desa ini masih merupakan hutan belantara yang tidak dihuni. Selama kurang lebih 13 tahun beliau bergelut dengan semak belukar dan kemudian menjadikan desa ini sebagai perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah beliau membuat gubuk tempat beliau berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang. Disebut juga dengan Pondok Telu karena bidang atau materi keilmuan yang dikaji meliputi tiga ilmu yaitu syari’at, hakikat dan kanuragan. Dari sisi lain dinamakan Pondok Telu karena  jumlah bangunannya terdiri dari 3 lokal. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
          • PERIODE RINTISAN KEDUA
Setelah Kyai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan Pondok Selawe atau Pondok Telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri, yaitu Kyai Ustman dan Kyai Sa’id. Pada tahap selanjutnya, atas restu dari Mbah Shoichah keduanya kemudian melakukan pengembangan terhadap pondok pesantren. Jika mbah Usman lebih menitikberatkan pesantrennya dalam ritual thoriqoh di timur sungai Tambakberas, maka sebaliknya mbah Sa’id lebih fokus pada pengembangan pesantren dengan kajian-kajian yang bersifat syari’at. Karena itlah maka Pondok Pesantren mbah Sai’d yang beada di sebelah barat sungai Tambakberas ini dikenal dengan sebutan Pondok Syari’at. Dan karena pondok yang dikembangkan oleh mbah ustman yang lebih fokus pada thoriqot, maka pondok ini dinamakan pondok thoriqot.
          • PERIODE PENGEMBANGAN PERTAMA
Setelah Kyai Ustman dan Kyai Sa’id wafat, yang meneruskan tampuk pimpinan pesantren adalah Kyai Hasbulloh, putra Kyai Sa’id. Sedangkan pesantren Kyai Ustman tidak ada yang meneruskan karena beliau tidak mempunyai putra laki-laki. Akhirnya sebagian santri Kyai Ustman diboyong oleh menantunya yang bernama Kyai Asy’ari ke Desa Keras yang akhirnya berkembang menjadi pondok pesantren Tebuireng sekarang. Sedangkan sebagian yang lain diboyong ke pesantren sebelah barat sungai dijadikan satu dibawah pimpinan Kyai Hasbulloh. Adapun untuk pusat jama’ah thoriqoh akhirnya dipindah ke desa Kapas dan diteruskan oleh menantunya yang bernama Abdulloh.
Kyai Hasbulloh adalah seorang yang kaya raya dan dermawan, beliau memiliki tanah pertanian yang sangat luas. Dari hasil pertanian ini beliau banyak memiliki gudang-gudang beras yang menyebar dimana-mana bagaikan tambak. Konon karena hal itu daerah ini disebut Dusun Tambakberas dan pondok pesantren beliau dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas.
Dibawah pimpinan Kyai Hasbulloh pondok pesantren berkembang sangat pesat. Guna kelanjutan pondok pesantren yang diasuhnya, Kyai Hasbulloh mengirimkan putra-putranya untuk belajar di pesantren, bahkan hingga ke Makkah Saudi Arabia untuk menuntut ilmu.
          • PERIODE PENGEMBANGAN KEDUA (1914)
Pada tahun 1914 Kyai Abdul Wahab(Putra tertua Kyai Hasbulloh)kembali dari tugas belajarnya di tanah suci Makkah. Sejak saat itu Kyai Abdul Wahab mulai melakukan pembaharuan pondok pesantren Tambakberas.Sistem pendidikan yang tadinya berbentuk halaqoh kemudian diubah menjadi sistem pendidikan madrasah yang penanganannya diserahkan kepada salah satu adiknya yaitu Kyai Abdurrochim. Dengan sistem pendidikan Madrasah  yang dikembangkan, pondok pesantren Tambakberas berkembang semakin pesat, dan pada tahun 1915 Kyai Abdul Wahab mendirikan Madrasah yang pertama (terletak di sebelah barat masjid, sekarang dibangun gedung Yayasan PPBU), Madrasah tersebut diberi nama Madrasah Mubdil Fan.
Pada tahun 1920 Kyai Hasbulloh wafat. Maka pesantren ini dilanjutkan oleh Kyai Abdul Wahab, dengan dibantu oleh kedua adiknya yaitu Kyai Abdul HamiddanKyai Abdurrohimyang juga baru kembali dari studinya di tanah suci Makkah. Dalam penataan manajemen pengelolaannya, Kyai Abdul Hamid lebih berkonsentrasi terhadap pengelolaan pondok, sedangkan Kyai Abdurrohim bertanggungjawabmengelola Madrasah. Kyai Abdul Wahab banyak berkiprah di kancah organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satu organisasi yang didirikannya adalah kelompok diskusi yang diberi nama TASHWIRUL AFKAR yang berpusat di Surabaya pada waktu itu. Dan pada tahun 1926 beliau mendirikan organisasi yang diberi nama NAHDLATUL WATHON dan pada akhirnya berganti nama menjadi NAHDLATUL ULAMA yang berkembang sampai sekarang.
Pada 1942, Kyai Wahab mendirikan pondok pesantren putri yang pertama, Al-Lathifiyyah, atas perintah Nyai Lathifah, istri Kyai Chasbulloh.
          • PERIODE PENGEMBANGAN KETIGA
Pada tahun 1942 Kyai Abdul Hamid dan Kyai Abdurrohim memanggil keponakannya yang bernama Kyai Abdul Fattah menantu Kyai Bisri Syansuri Denanyar, sebagai upaya regenerisasi pengelolaan Madrasah.
Pada tahun 1943 Kyai Abdurrahim wafat, tugas-tugas beliau diteruskan oleh Kyai Abdul Fattah.  Mengingat semakin jumlah santri semakin bertambah banyak, Kyai Abdul Fattah mendirikan gedung Madrasah di dekat rumahnya yang kelak  oleh Kyai Abdul Wahab diberi nama Madrasah Ibtida’iyyah Islamiyyah (MII) dan kemudian berganti nama Madrasah Ibtida’iyyah (MI). Pada tahun 1944/1945 lahirlah Madrasah putri yang pertama yang diprakarsai oleh Ny. H.R.Mas Wardiyah (istri Kyai Abdurrochim), yang didampingi oleh Ny.Chasbiyah (putri Kyai Aqib Gedang ) dan Ny Masyhuda binti Kyai Nur.
Pada tahun 1951 Kyai Abdul Fattah dengan restu para sesepuh, mendirikan pondok pesantren putri Al-Fathimiyyah, serta pada tahun 1956 mendirikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 4 Tahun.
Pada tanggal 6 Juni 1956 Kyai Abdul Hamid wafat, maka pengelolaan pondok pesantren Tambakberas dilanjutkan oleh Kyai Abdul Fattah, sedangkan pengelolaan  Madrasah diserahkan kepada Kyai Achmad Alfatich, putra sulung Kyai Abdurrohim. Dibawah pimpinan beliau Madrasah lebih berkembang, sehingga pada tahun 1964, Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 4 tahun ditambah masa studinya menjadi 6 tahun dan berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas. Sedangkan untuk teknis monitoringnya diserahkan kepada kyai Al-Fatih sekaligus sebagai direkturnya.
Pada tahun 1965 Kyai Abdul Wahab memberi nama pondokpesantren ini dengan nama PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM. Pada tanggal 29 Desember 1971/ 11 Dzulqo’dah 1391 H. Kyai Abdul Wahab pulang ke rahmatulloh. kepengasuhan PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM diteruskan oleh Kyai Abdul Fattah dibantu oleh para dzurriyah Bani Chasbulloh yang lain.
Pada tahun 1974 Kyai Abdul Fattah mulai merintis Perguruan Tinggi yang diberi nama Al-Ma’had Al-Aly. Setelah Kyai Abdul Fattah wafat pada tahun 1977, tampuk kepengasuhan PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM, dilanjutkan oleh KH. M. Najib Abd. Wahab, LML  putra ketiga Kyai Abdul Wahab. KH. M. Najib Abd. Wahab, LML memiliki reputasi cemerlang dalam membawa lembaga PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM pada pentas nasional. Selain pernah menjabat sebagai Ro’is Syuriah PBNU, pada tahun 1985 beliau bersama pengasuh yang lain juga menghidupkan Al-Ma’had Al-Aly menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dengan menunjuk Drs. KH. Moh. Syamsul Huda As, SH.,M.HI sebagai ketua. Dalam kapasitas sebagai ketua Robithotul Ma’ahid (Asosiasi Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama), KH. M. Najib Abd. Wahab.L.ML menyelenggarakan Usbu’ul Ma’ahid (Pekan Pesantren se-Jawa). Salah satu hasilnya adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam, yang kemudian dijadikan pedoman hakim agama Islam di Indonesia.
KH. M. Najib Abd. Wahab, LML  menata manajemen pondok putra dengan menyusun struktur kepengurusan.  Sejak saat itu muncullah istilah Rois Khos (ketua komplek). Beliau juga mengamanatkan kepengurusan masjid kepada KH. Moh. Sholeh Abd. Hamid sebagai ketua ta’mirnya, dan menyelenggarakan pengajian sentral tiap Senin malam Selasa di masjid.Pada 20 November 1987, KH. M. Najib Abd. Wahab, LML pulang rahmatulloh. Sepeninggal beliau, PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM diasuh dengan menggunakan sistem kepengasuhan  kolektif.
          • PERIODE PENGEMBANGAN KE-4 (KEPENGASUHAN KOLEKTIF)
Seiring dengan perkembangan PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM yang semakin pesat dari tahun ke tahun, baik jumlah santri maupun lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal yang ada di dalamnya, maka untuk memaksimalkan potensi yang sudah ada  diperlukan suatu manajemen kepengasuhan Pondok Pesantren yang konstruktif, jelas, terprogram dan terarah. Berangkat dari ide dasar itulah maka kemudian lahir pemikiran untuk membagi Manajemen kepengasuhan  Pondok Pesantren menjadi;
  • Majelis Pengasuh, yang berfungsi sebagai lembaga legislatif yang memiliki otoritas atau pemegang kebijakan tertinggi.
  • Pengurus Yayasan, yang berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan semua program pengembangan dan pemberdayaan pendidikan semua lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Yayasan PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
  • Dewan Pengawas, yang berfungsi sebagai yudikatif, yaitu mengawasi, memberikan pertimbangan kepada pengurus yayasan dan memberikan masukan kepada Majelis Pengasuh. Dibentuknya dewan pengawas dalam struktur manajemen PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM sejak tahun 2006, hal ini sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-undang RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Hingga saat ini, sejak kepemimpinan kolektif ini diterapkan, sudah mengalami dua/tiga periode kepemimpinan Majelis Pengasuh;

  • Almaghfurlah KH.M. Sholeh Abdul Hamid
(1987 – 2006)
Pada masa kepengasuhan beliau, jabatan Ketua Umum Yayasan PPBU telah mengalami beberapa kali pergantian,  yaitu KH Ahmad Alfatich Abdur Rohim (1990 – 1994), Drs. KHM Hasib Abdul Wahab (1994 – 1998), Drs. KH Fadhlulloh Abd. Malik (1998 – 2002), KH Taufiqurrohman Fattah yang menjabat dua periode, 2002 – 2006 dan 2006 – 2009.
Pada saat Ketua Umum Yayasan dijabat oleh KH. Ach. Taufiqurrohman Fattah, kemudian dimunculkan Peran Yudikatif (Dewan Pengawas) sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang No 16 tahun 2001 tentang Yayasan.
  • Almaghfurlah Drs. KH. Amanulloh Abdur Rochim (2007-2008)
Ketika KHM Sholeh Abd. Hamid wafat pada Senin malam Selasa tanggal 16 Syawal 1427 / 7 November 2006 tampuk pimpinan Majelis Pengasuh dipegang oleh Drs. KH Amanulloh AR. Sedangkan Ketua Umum Yayasan masih dijabat oleh KH. Ach. Taufiqurrohman Fattah. Beberapa kebijakan penting yang diambil pada saat KH. Amanulloh AR menjadi Ketua Majelis adalah diselenggarakannya pertemuan Alumni Bahrul Ulum tingkat nasional yang akhirnya membentuk suatu ikatan wadah alumni yang berrnama Ikatan Alumni Bahrul Ulum atau yang disingkat dengan nama IKABU.
Selain itu, untuk terus mengharumkan kembali nama PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM di bumi nusantara beliau juga mengadakan Pertemuan Ulama dan Umara se Jawa dan Madura. Satu program besar lain  yang digagas oleh beliau adalah pembangunan Gedung Serba Guna yang direncanakan berfungsi sebagai balai pertemuan maupun sarana olah raga santri Bahrul Ulum.  Namun sebelum sempat pembangunan itu terealisir, beliau dipanggil oleh Allah pada 13 November 2007 pada usia 65 tahun, satu tahun persis setelah meninggalnya KH.M. Sholeh Abd. Hamid.
Semenjak KH. Amanulloh wafat, jabatan Ketua Majelis Pengasuh – sesuai dengan kebijakan yang diambil semua anggota Majelis Pengasuh – dikosongkan untuk sementara waktu sampai berakhirnya kepengurusan tahun 2009. Dan untuk menjalankan roda organisasi di Majelis Pengasuh – sesuai dengan mekanisme dan job yang telah ditetapkan – maka untuk pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan lembaga pondok pesantren dipegang oleh KH. Abd. Nashir Abd. Fattah,  sedangkan yang berkaitan dengan lembaga pendidikan formal dan hubungan dengan lembaga di luar PPBU dipegang oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab, dan sebagai Katibnya adalah H. Sholachul Am Notobuwono, SE.
          • TAHUN 2011
PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, sampai dengan tahun 2009 ini sudah berusia 185 tahun, sedangkan Madrasahnya berusia 95 tahun. Di usianya yang jauh melebihi kemerdekaan bangsa ini PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, telah berkembang pesat dengan beragam jenis dan jenjang pendidikan. Hingga saat ini PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM memiliki 31 unit asrama pondok pesantren dan 18 unit pendidikan formal dari tingkat PRA SEKOLAH sampai dengan PERGURUAN TINGGI.

Hider Design









My Foto SldShw






Jumat, 19 Oktober 2012

bio jenifer lopes



Jennifer Lynn Lopez (born July 24, 1969) is an American actress, dancer, entrepreneur and recording artist. Widely recognized as being the definition of America's sweetheart, Lopez has been cited as being the most influential Hispanic performer in the United States. She is one of the highest paid actresses in Hollywood and is the highest paid actor of Latin descent, making up to US$15 million per film role. Lopez has sold over 11.8 million albums in the United States and over 70 million records worldwide.[1][2] She became interested in pursuing a career in the entertainment industry following her small role in the 1986 film My Little Girl, to the dismay of her Puerto Rican parents, who believed that it was an unrealistic career route for a Latino. Following her move from The Bronx to Manhattan, Lopez performed in regional stage productions, before touring with musicals in Europe and Japan. She gained her first regular high-profile job as a Fly Girl dancer on the television comedy program In Living Color in 1991, where she remained a regular cast member until 1993 when she decided to pursue a full-time acting career. Lopez received her first leading role in the Selena biopic of the same name in 1997, which earned her widespread acclaim and a Golden Globe nomination. Following subsequent roles in the films Anaconda (1997) and Out of Sight (1998), Lopez ventured into the music industry in 1999 with the release of her debut album On the 6. With the simultaneous release of her second studio album J.Lo and her film The Wedding Planner in 2001, Lopez became the first person to have a number one album and film in the same week. Lopez's 2002 remix album, J to tha L–O! The Remixes, became the first in history to debut atop the U.S. Billboard 200. Between the release of her third and fourth studio albums - This Is Me... Then and Rebirth - Lopez took a break from her music career to focus on acting, starring in the films Maid in Manhattan (2002) and Shall We Dance? (2004). Lopez's Spanish-language album, Como Ama una Mujer (2007), received the highest first-week sales in the United States for a Spanish album. Her commercial success was severely damaged after the release of her sixth studio album, Brave (2007). The set, which showcased a different musical prospective from the singer, failed to attain the success of her previous efforts and removed Lopez from the music scene until 2011, when she became a judge on the singing competition American Idol; this move allowed her to regain media attention and improved her success at charts, with her single "On the Floor", showcased and released during such timespan, becoming a worldwide hit and her best-selling single to date. Lopez's public image and high-profile relationships have attracted worldwide media attention. Her marriage to actor Ojani Noa from 1997 to 1998 was proceeded by a series of lawsuits resulting from Noa's attempts to sell private details of Lopez and their relationship. Following her marriage to Noa, Lopez dated producer Sean Combs, a relationship that became the inspiration for Lopez's 2000 single "Love Don't Cost a Thing". Combs accompanied Lopez to the 42nd Grammy Awards in 2000, where she wore her infamous Green Versace dress. After a series of incidents and Combs' trial and pursuit by the press Lopez terminated her involvement with Combs later that same year. Lopez became romantically involved with actor Ben Affleck, while still married to her second husband Cris Judd, during shooting of Gigli (2003), a film that is considered one of the worst of all time. Their relationship, dubbed as Bennifer by the public, ended as a result of media overexposure, which had a negative impact on both of their careers. After rekindling her relationship with recording artist Marc Anthony, whom she had previously dated in 1999, the two wed in a private ceremony in 2004. Lopez gave birth to the couple's twins, Maximilian and Emme, in February 2008. They were introduced in the March 11, 2008 issue of People, for which the magazine paid a reported $6 million—the photographs of the twins became the most expensive celebrity picture ever taken at the time.